Monday, August 10, 2009

"The Joes" Kalahkan Optimus Prime



Melihat film pertama Transformers 2 tahun silam, rasanya sulit bagi film lain untuk menyaingi kehebatan Optimus Prime dan kawan-kawan dalam memukau para penontonnya. Efek CGI yang dikembangkan nyaris sempurna, tanpa cacat. Semuanya terlihat realistis. Peperangannya pun sungguh hebat dan nyaris menaikkan atmosfer bioskop sejak 10-15 menit pertama. Dan hasilnya pun sungguh di luar dugaan, pesona TF melampaui film-film sejenis, termasuk saga Spiderman dan Harry Potter. Hiburan pencuci mata dan pembuat ketegangan, mungkin itulah positioning TF.

Tahun ini, sequel TF dirilis. Adalah Revenge of the Fallen (ROTF) yang memikul beban berat untuk tampil lebih baik dan lebih memukau di cerita lanjutannya. Semua orang menantikan kehadiran Optimus dkk serta musuh-musuh barunya yang dikatakan jauh lebih kuat dan banyak. 40 menit pertama sukses 'dipikul' oleh TF2. Selepas itu, film ini seperti terjun bebas. Maksud memberikan peran lebih kepada karakter manusianya, film ini malah terlalu banyak dialog yang tidak penting, plot yang terlalu bertele-tele, dan tentu saja konflik puncak yang jauh dari harapan. Termasuk begitu mudahnya The Fallen dan Devastator kalah. TF2 kehilangan "charm"-nya. Efek CGI-nya memang masih canggih (baca = mencuci mata penonton), tapi intense penonton "dicuekin" terlalu lama. Secara finansial memang bagus, tetapi menurut saya, TF2 tidak pernah lebih baik secara kualitas dibanding film pertamanya. Penyakit "worse sequel" Hollywood tampaknya belum sembuh total.

Selepas TF2 dan juga Harry Potter 6 yang dirilis musim panas tahun ini, praktis tidak ada harapan akan datangnya "penghibur baru yang lebih baik". Kisah Wolverine dalam X-Men Origins cenderung pelit efek dan bukan barang baru lagi. Paling hanya Watchmen yang sedikit memberikan warna baru dalam kisah superhero, layaknya The Dark Knight tahun lalu. Well, pretty good, though.. Yang sedikit lumayan adalah Star Trek yang merupakan hasil remake film berjudul sama bertahun-tahun yang lalu.

Bukan Hollywood jika kehabisan kejutan untuk dunia perfilman. Sungguh, seperti layaknya TF, tidak ada ekspektasi yang tinggi ketika G.I.Joe : Rise of the Cobra dirilis. Mungkin preview-nya cukup menggugah, namun film lain yang serupa juga menawarkan hal yang sama. Tapi, ternyata "The Joes", sebutan bagi personil satuan khusus G.I.Joe berhasil memukau penontonnya dengan teknologi yang tidak kalah canggih dengan TF dan TF2. Satu hal yang membuat mereka unggul dari para robot, adalah plot yang luar biasa menegangkan sejak menit pertama. Well done!! Film ini memang menjual beberapa aktor ternama seperti Dennis Quaid, Sienna Miller, Channing Tatum, bahkan Brendan Fraser dan komedian Marlon Wayans.

Intinya, jelas secara kualitas G.I.Joe, jika tidak bisa melampaui, minimal menyamai prestasi yang diraih oleh para robot TF dan TF2 dalam menghibur penonton. Jangan berpikir logika cerita yang disuguhkan. Cukup buka mata anda, nikmati gambarnya, dengar suaranya, rasakan ketegangannya, dan habisi waktu berharga anda dengan menonton film ini bersama dengan keluarga. Happy watching!!



NB : Mudah-mudahan sequel film ini dapat terlaksana dengan baik dan bisa menyembuhkan penyakit "worse sequel" Hollywood di masa mendatang.

By the way, "The Joes" tidak saja mengalahkan TF2 dalam menghibur penonton. Tonton dulu film ini, lalu berpikir (baca = berimajinasi), bisakah "The Joes" dengan segala teknologi yang dimilikinya mengalahkan pasukan Optimus Prime?? Kemungkinan besar bisa. Ingat senjata mematikan milik NATO yang diperebutkan, sekaligus menjadi obyek utama dalam film ini. You decide!!

Tuesday, August 04, 2009

La Liga 09/10 : Barcelona Siap Marathon Lagi

Tidak ada yang bisa menghentikan laju "El Barca" musim lalu. Praktis semua klub terbaik di Eropa pernah merasakan diganyang Barca. Hanya Chelsea yang mencoba peruntungannya dan lantas memainkan sepakbola negatif melawan Barcelona di semifinal Liga Champions 2008/2009. Hasilnya? Barca yang bermain dengan 10 orang berhasil mencetak gol di menit-menit akhir lewat Andres Iniesta. Heaven knows. Chelsea pun pulang dengan tangan hampa, plus hukuman bagi Didier Drogba yang menghina kepemimpinan wasit Ovrebo. Sungguh dramatis.

Bayern Muenchen, Real Madrid, dan Manchester United pernah merasakan pertahanan mereka diporak-poranda Lionel Messi, Samuel Eto'o, Thierry Henry, Xavi, dan Iniesta. Khusus Madrid, mereka pernah merasakan gawang Iker Casillas dibobol hingga 6 kali, di kandang sendiri. Pelatih Pep Guardiola pun dipuja bak dewa. Barcelona meraih 3 gelar (treble) musim lalu. Best of the best.

Trio Messi-Henry-Eto'o yang tampil sempurna musim lalu. Kini Eto'o sudah pindah.

Mempertahankan lebih sulit daripada meraih. Pepatah ini ada benarnya. Kini Barcelona punya beban yang berkali-kali lipat lebih berat dibanding musim lalu. Mereka dituntut untuk mempertahankan ketiga gelar yang sudah diraih, atau kalau bisa, meraih lebih banyak. Rival abadi mereka, Real Madrid, bahkan sudah menggelontorkan ratusan juta pounsterling untuk menggaet seluruh pemain terbaik yang ada. Ricardo Kaka, Cristiano Ronaldo, Raul Albiol, Karim Benzema, dan sebentar lagi Xabi Alonso, sudah diplot menjadi Los Galacticos II. Era pertama Galacticos beberapa waktu silam juga diperkuat pemain-pemain terbaik dan termahal, sebut saja Zidane, Luis Figo, David Beckham, Ronaldo, Michael Owen, dan Antonio Cassano.

Namun Barcelona bukanlah Real. Mereka merasa, timnya saat ini sudah hampir tanpa cela. Kecuali Eto'o yang "ditukar tambah" dengan salah satu striker paling berbahaya saat ini, Zlatan Ibrahimovic, tidak ada perubahan lain di formasi inti Barcelona. Maxwell yang juga baru dibeli, diplot hanya untuk melapis Eric Abidal sebagai bek kiri. Barcelona malah meminjamkan bek Martin Caceres dan gelandang Aliaksandr Hleb untuk menambah jam terbang mereka, sesuatu yang sulit didapatkan di Barca yang "never change the winning team".

Iniesta dan Xavi berhasil mengoptimalkan lini tengah El Barca

Striker Thierry Henry sudah mulai kembali ke bentuk permainan aslinya. Lionel Messi semakin matang. Xavi dan Iniesta semakin kompak bersama Yaya Toure atau Seidou Keita di lini tengah. Carles Puyol dan Rafael Marquez juga masih tak tergantikan di lini belakang. Paling hanya Daniel Alves yang harus lebih ingat pertahanan saat jadi bek kanan serta kiper Victor Valdes yang harus lebih cermat dalam mengantisipasi bola serangan lawan. Hampir sempurna bukan?

Satu-satunya hal yang berpotensi menjadi bumerang adalah pembelian Ibrahimovic dari Inter. Ia memang seorang seniman di lapangan hijau, namun apakah bisa nyetel dengan Henry dan Messi? Uji coba belum dilakukan karena Pep masih fokus pada pembinaan lapis kedua yang dimotori oleh Bojan Krkic dan Pedro. Ibra sendiri sangat yakin bahwa ia bisa langsung beradaptasi dengan permainan ala Pep yang selalu didambakannya. Well, kita tunggu penampilan perdana mereka sebentar lagi!

Ibra pede bisa lebih "maut" bersama Henry dan Messi

Lega Calcio 09/10 : Juventus dan "Playmaking"

Juventus adalah klub kesayangan saya yang pertama. Waktu itu usia 10 tahun saya baru mulai menggilai sepakbola. Kebetulan saat Piala Dunia 1998, Prancis yang dimotori oleh Zinedine Zidane berhasil menghancurkan Brasil 3-0 di final. Saat itu pula saya langsung menyukai Prancis, Zidane, dan klub di mana Zidane berada, Juventus.

Klub-klub Italia identik dengan permainan tempo lambat serta formasi yang tidak jauh dari 4-4-2 dan pengembangannya. Era tahun 2000-an, di mana saya juga baru mulai tergila-gila dengan Juventus, hampir seluruh klub besar Italia menggunakan formasi berlian 4-1-2-1-2 dengan "playmaker" alias pengatur serangan di belakang dua penyerang. Saat itu, Zidane, Rui Costa (AC Milan), Francesco Totti (AS Roma), Juan Sebastian Veron (Lazio), serta Emre Belozoglu/Alvaro Recoba (Inter) menjadi playmaker di masing-masing klubnya. Saat ini Juventus masih diperkuat legenda sepakbolanya Alessandro Del Piero yang juga bisa diplot sebagai playmaker di belakang Amauri dan David Trezeguet/Vincenzo Iaquinta.

Bagaimanapun, Juventus, sama seperti klub Italia lainnya, tidak bisa bermain total tanpa sosok playmaker di lini tengahnya. Sepeninggal Zidane yang hengkang ke Real Madrid dan memecahkan rekor transfer termahal saat itu, Pavel Nedved menjadi penggantinya. Tidak salah memang. Juve pun meraih scudetto beberapa kali secara berturut-turut. Kasus "Calciopoli" menjadi titik balik "Si Nyonya Besar". Juventus harus turun ke Seri B dan 2 gelar terakhirnya dicabut dan diserahkan kepada Inter Milan. Juve juga harus kehilangan beberapa pemain kuncinya yang hengkang saat itu; Zlatan Ibrahimovic, Patrick Vieira, Lilian Thuram, Fabio Cannavaro.

Del Piero-Trezeguet sempat jadi duet termaut di Liga Italia

Saat kembali ke pentas utama Liga Italia, kondisi Nedved sudah menua dan tidak bisa seprima dulu lagi. Ia pun pensiun. Del Piero, walaupun masih mematikan dalam bola-bola mati, tetaplah seorang pesepakbola yang sudah cukup uzur. David Trezeguet, pencetak gol terbanyak Juve dalam beberapa musim terakhir pun banyak dibekap cedera. Alhasil beberapa pemain anyar seperti Amauri, Iaquinta, Mohammed Sissoko, Christian Poulsen, dan gelandang muda Sebastian Giovinco 'hanya' berhasil mendaratkan Juve di posisi ke-3 di bawah duo Milan. Prestasi yang tidak bisa dibilang buruk mengingat Juve baru saja naik.

Iaquinta-Amauri melengkapi deretan penyerang Juve

Menghadapi musim baru ini, pelatih sekaligus mantan bek legendaris Juve, Ciro Ferrara percaya tahun ini Juve bisa berbicara lebih banyak. Kini sosok playmaker melekat pada Diego yang didatangkan dari Werder Bremen. Juve juga memperkuat lini pertahanannya dengan mendatangkan gelandang Felipe Melo dari Fiorentina, 'menarik kembali' Fabio Cannavaro dari Real Madrid, serta meminjam Martin Caceres dari Barcelona.
Diego siap gantikan peran Nedved

Perkiraan formasi inti Juventus musim 2009/2010:
4-4-2 = Gianluigi Buffon, Giorgio Chiellini, Fabio Cannavaro, Nicola Legrottaglie/Martin Caceres, Zdenek Grygera, Diego Ribas, Mohammed Sissoko, Felipe Melo, Mauro Camoranesi, Amauri, David Trezeguet.

Subs = Alex Manninger, Jonathan Zebina, Cristian Molinaro, Cristiano Zanetti, Hasan Salihamidzic, Alessandro Del Piero, Vincenzo Iaquinta.

Premier League 09/10 : Arsenal Tetap Percaya Diri

Gallas, Fabregas, Walcott, dan Almunia - tetap dipertahankan


Satu hal yang membuat saya senang dengan Arsene Wenger dan Arsenal tentunya, mereka percaya pada kekuatan diri sendiri, dan tidak tergantung pada pembelian pemain baru yang mahal dan tidak masuk akal. Beberapa tahun terakhir ini menjadi pembuktian Wenger bahwa mereka tetap bisa bertahan di "The Big Four" dengan squad pemain muda mereka. Pasca hengkangnya Thierry Henry, Patrick Vieira, dan Robert Pires yang menua serta pensiunnya beberapa legenda sepakbola Dennis Bergkamp, Tony Adams, dan David Seaman, Arsenal praktis dimotori oleh pemain muda di bawah 21 tahun, sebut saja jenderal lapangan tengah yang kini menjadi salah satu gelandang terbaik di dunia, Cesc Fabregas serta penyerang sayap berbahaya Theo Walcott.

Wenger menyadari bahwa squad muda ini butuh sosok kepemimpinan yang lebih tua, tidak semata-mata hanya mengandalkan energi dan kecepatan saja. Willian Gallas pun kini diplot sebagai sosok tetua tersebut, walaupun pada praktiknya ia belum bisa menjadi teladan bagi rekan setimnya. Tomas Rosicky banyak mengalami cedera, dan Aliaksandr Hleb dilepas ke Barcelona.

Menghadapi musim baru mulai bulan ini, di mana hampir seluruh klub besar di Eropa berlomba-lomba memburu pemain, Arsenal justru melepas 2 pemain kuncinya ke "calon klub raksasa" Manchester City. Mereka adalah striker andalan Emmanuel Adebayor dan palang pintu utama Kolo Toure. Hal ini mungkin dikecam oleh sebagian fans. Namun lagi-lagi Wenger menegaskan bahwa pembelian jor-joran tidak menentukan sukses klub, melainkan latihan keras dan disiplin diri sendiri. Filosofi ini dipegang teguh selama 4 tahun terakhir ini. Hasilnya? Masih nihil. Fans Arsenal mungkin akan memberikan satu musim lagi bagi Wenger dan pahamnya tersebut.

Pembelian Andrei Arshavin awal tahun ini dianggap sebagai pembelian yang sukses. Arshavin berhasil menjadi "peluru" yang tajam dan tepat sasaran. Sementara untuk lini belakang, Wenger hanya memberi Thomas Vermaelen dari Ajax Amsterdam. Dalam beberapa uji coba terakhir, beberapa nama mencuat karena penampilan mereka yang semakin menawan dan meyakinkan, di antaranya Jack Wilshere dan Aaron Ramsey. Kabar baik yang membuat Wenger makin senang, adalah pulihnya Rosicky serta striker Eduardo da Silva. Tampaknya Eduardo akan diduetkan dengan Robin van Persie di lini depan.

Arshavin kini menjadi peluru utama Wenger

Ada rumor bahwa saat ini Wenger sedang mengincar striker Marouane Chamakh dari Bordeaux. Mungkin untuk melapis lini depan Arsenal. Saya kira beli atau tidak beli, Arsenal bisa tetap maju dengan squad-nya saat ini.

Di lini tengah, Arshavin dan Walcott akan menemani Cesc Fabregas dan Vassiriki Abou Diaby sebagai jangkar yang kokoh dan energik. Rosicky dan Wilshere akan memberikan warna permainan yang lain jika diperlukan. Belum lagi ada Samir Nasri yang kemampuannya semakin terasah. Gallas akan tetap menjadi palang pintu utama bersama Vermaelen, ditopang oleh Mikael Silvestre dan Emmanuel Eboue. Tidak usah takut, Wenger masih memiliki Bacary Sagna dan Gael Clichy sebagai pelapis. Di bawah mistar, Manuel Almunia atau Lukasz Fabianski akan menjaga gawang The Gunners dengan baik.

So, Wenger, musim ini mau dapat gelar apa?

Wenger (kanan) akan memberi kepercayaan lebih kepada Wilshere