Sudah sejak bulan Januari lalu pamanku divonis mengidap gagal ginjal. Fungsi ginjalnya tinggal 10%. Bagaikan halilintar, berita ini membuat seisi rumahku shock berat. Pamanku masih single, atau istilahnya belum menikah. Ia memiliki 3 saudara kandung; 1 kakak perempuan, 1 kakak laki-laki, dan 1 adik perempuan, yaitu ibu kandungku sendiri. Kakak laki-lakinya sudah dipanggil terlebih dahulu beberapa tahun silam, mengidap penyakit yang sama, gagal ginjal.
Sungguh, tiada yang lebih berat bagi ibuku daripada mendengar kabar ini. Urusan nenekku belum selesai, yaitu ia yang kena stroke ringan beberapa waktu lalu yang membuatnya lumpuh setengah badan dan kini seluruhnya menjadi beban ibu dan keluargaku. Kakak perempuan ibuku tinggal nun jauh di Surabaya. Praktis semua beban tertuju pada ibuku. Akhirnya pamanku harus tinggal di rumah, tepatnya di kamarku, selama sakit.
Berbagai cara dilakukan untuk menyembuhkan sakit pamanku. Belakangan baru ketahuan, selain gagal ginjal, pamanku juga ada tumor di pankreasnya. Sungguh kombinasi yang sangat mematikan dan membunuh korbannya perlahan-lahan dengan satu cara; tidak bisa makan. Kami sekeluarga sangat percaya, bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan kami, Yesus Kristus. Ia sudah mati tebus kita semua, dan barangsiapa percaya pada-Nya akan diselamatkan. Iman kami begitu kuat. Namun seringkali ada beberapa keputusan sepihak yang dilakukan oleh ibuku, demi kenyamanan paman, padahal belum tentu benar. Mungkin karena ia sangat mengidolakan kakaknya tersebut, sehingga apa yang diminta, harus segera dikabulkan. Ayah sebenarnya sudah berseberangan dengan Ibu, namun apa daya, segala sesuatu harus ada kesatuan hati. Ayahku selalu memaklumi Ibu.
Waktu terus berjalan. Bulan demi bulan berlalu. Kondisi paman tak kunjung membaik. Ia sudah beberapa kali keluar masuk berbagai macam RS. Berbagai macam pengobatan sudah dicoba. Biaya yang dihabiskan sungguh sangat besar. Semua harta bendanya sudah dijual. Dan nasibnya belum jelas. Tuhan Yesus menggantung nasib paman dan keluargaku. Yang tidak kami tahan, adalah melihat penderitaannya hari demi hari, di mana tubuhnya semakin kurus, tenaga semakin habis, iman pun rontok sudah. Beruntung paman punya pacar yang amat sangat setia di sampingnya, dan banyak teman-teman seiman yang datang menguatkan kami semua.
Awalnya Paman amat kecewa dengan Tuhan Ia menganggap Tuhan tuli tidak mau mendengar suaranya. Ia sungguh marah. Mungkin, inilah hukuman Tuhan yang harus ia jalani di dunia. Sepanjang umur hidupnya, Paman tidak pernah serius dengan Tuhan. Hidupnya serba bebas, serba bisa, serba ingin coba. Rokok sudah menjadi teman baiknya. Miras pernah dicoba. Bahkan ke tempat-tempat yang tidak berkenan, sudah ia cicipi. Mungkin ini yang ia cari dalam hidupnya yang selibat, KEBEBASAN. Hutangnya banyak di mana-mana, dan sejak dahulu kami tahu itu. Ibu hanya bisa berdoa dan berharap pada Tuhan, agar ia berubah dan kembali pada jalan yang benar. Imej pamanku, ia orang yang keras, tegas, berpendirian teguh, dan cenderung arogan.
Dalam bulan-bulan penderitaannya, Tuhan skak mati posisinya. Tuhan kikis habis kesombongannya. Tuhan hancurkan segala sesuatu di dalam dirinya. Tujuannya hanya satu, agar hatinya kembali kepada Tuhan. Benar saja, usaha keluarga kami mendoakan dan menginjili dia tidak sia-sia. Hatinya melunak. Pikirannya tertuju kepada Tuhan, sekalipun fisiknya semakin hancur.
Sejenak sebelum akhir hayatnya, hati Ibu melunak. Tadinya ia memaksa Tuhan untuk menyembuhkannya, dan Tuhan mendengar doa ibuku dengan menggantungkan nasib paman. Tuhan tidak mau ibuku kecewa dan belum siap saat Ia memanggil anak-Nya. Doa ibu sudah bersifat penyerahan, di mana kami keluarga yang lain sebenarnya sudah melakukan hal tersebut sejak lama. Perasaan kami begitu kuat, bahwa hidup Paman tidak lama lagi. Tuhan sudah mau memanggilnya. Pada hari Selasa, tanggal 9 Juni 2009, pada pukul 12.00 siang, Paman dipanggil Tuhan saat ia sedang check-up ke RS. Tuhan tahu waktu yang terbaik, dan Ia membuat segalanya mudah. Paman tidak lagi menderita saat ia dipanggil. Ia sudah rindu dengan Tuhan Yesus. Saat ini, kami percaya, ia bertemu Tuhan Yesus dan juga kakak laki-lakinya di Taman Firdaus.
Terkadang kita merasa, kesembuhan fisik adalah satu bukti kehebatan Tuhan dan juga bukti bahwa ia diselamatkan dari maut. Tuhan tahu segalanya. Rancangan Tuhan bukanlah rancangan kita. Ia tidak pernah terlalu cepat, ataupun terlambat. Justru kehidupan kekallah yang penting. Dunia ini cuma sementara. Suatu hari nanti, kita semua juga akan dipanggil Tuhan. Tuhan memang tidak mengizinkan kesembuhan fisik terjadi pada pamanku, namun justru Tuhan menunggu saat yang tepat, Paman benar-benar dalam keadaan siap, keluarga pun sudah merelakan. Tidak ada kepahitan. Tidak ada lagi dukacita.
Perjuangan beliau cukup sampai di sini, namun kisahnya belum berakhir. Masih ada Surga yang menanti orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus. Pertanyaan yang kini terlintas adalah, apakah kami bisa siap pada waktu Tuhan memanggil kami? Apakah kami bisa tetap bertahan dalam iman kami? Dan memastikan bahwa kami akan bertemu paman kami lagi nanti? Kita berdoa, kasih karunia Tuhan akan terus menyertai hingga pada tujuan akhir kita nanti, yaitu Rumah Bapa.
Selamat Jalan, Paman Johanes, sampai jumpa di Surga nanti..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment