Final yang diidam-idamkan akhirnya tercapai juga. Pertarungan antara tim dengan kualitas penyerangan terbaik di seluruh Eropa bahkan dunia saat ini dengan tim dengan pertahanan terbaik di Eropa. Barcelona versus MU. Tidak ada rumah taruhan yang berani memegang salah satunya secara saklek. Seluruh kekuatan dikerahkan. Semua mata dunia tertuju pada partai ini.
Mengapa bukan Arsenal atau Chelsea yang melaju ke final? Arsenal punya kualitas tim bintang muda yang dilatih oleh seorang professor jenius, Arsene Wenger. Namun justru "kemudaan"-nya lah yang membuat mereka takluk di kandang sendiri saat kedatangan MU. 1-3. Hal ini sungguh di luar dugaan karena publik berharap Arsenal bisa, paling tidak, menyamakan agregat skor sehingga pertandingan harus terus dilanjutkan dengan perpanjangan waktu. Namun tahun ini bukanlah milik Cesc Fabregas dkk.
"Si Biru" Chelsea lebih parah lagi. Belajar dari "pembantaian ala Catalan" yang dialami oleh 2 raksasa Eropa, Bayern Muenchen dan Real Madrid, Guus Hiddink rela mengorbankan jati diri dan harga diri Chelsea. Tidak ada yang salah memang dengan strategi bertahan ala Italia, namun justru hal inilah yang mencoreng keindahan sepakbola. Untung Barcelona terus melakukan serangan tanpa henti, walaupun tidak berbuah gol sama sekali. Gol Iniesta di menit akhir menjelaskan keadilan yang sesungguhnya. Mereka yang layak lolos, loloslah. Sementara tim tanpa harga diri yang bahkan saat Barcelona bermain dengan 10 orang mereka masih bertahan, tidak layak lolos. Wasit tidak dapat dipersalahkan karena kedua tim sama-sama dirugikan dalam dua pertandingan. Chelsea pulang tidak dengan tangan hampa, melainkan ancaman hukuman UEFA akibat tindakan memalukan dari Didier Drogba dkk. Seluruh dunia pun mengerti.
Jelang laga final akhir bulan ini, justru Barcelona tidak diperkuat oleh sejumlah pemain pilarnya. Setelah kedua bek sayap Eric Abidal dan Daniel Alves terkena larangan bermain, Andres Iniesta menyusul striker Thierry Henry yang cedera. Peluang keduanya untuk bermain memang masih sangat lebar, namun Pep Guardiola harus menyiapkan skema cadangan. Seydou Keita dan Bojan Krkic kemungkinan besar akan diturunkan jika Iniesta dan Henry belum pulih benar. Sementara di lini belakang Carles Puyol akan kembali menemani Gerard Pique untuk mengawal gawang Victor Valdes.
MU sendiri tidak punya masalah seberat Barcelona. Paling hanya gelandang Darren Fletcher yang harus duduk di bangku cadangan karena terkena larangan bermain. Sisanya, fit. Termasuk pahlawan MU saat bertamu ke Emirates Stadium, Park Ji Sung, MU bisa saja menurunkan formasi ofensif mirip Barcelona dengan trio Cristiano Ronaldo-Dimitar Berbatov-Wayne Rooney di depan. MU masih memiliki Carlos Tevez serta Ryan Giggs untuk variasi serangan. Masalahnya adalah, apakah Ferguson berani memainkan pola menyerang seperti ini? Ini tantangan sendiri bagi MU untuk tidak mengikuti jejak kelam Chelsea di babak semifinal.
Sebenarnya, siapapun yang bertanding di final nanti, publik berharap sepakbolalah yang menang. Keindahan sepakbola. Akan ada pertarungan dua pemain terbaik di dunia saat ini, Lionel Messi versus Cristiano Ronaldo. Juga adu gelandang visioner Xavi-Iniesta melawan Carrick-Scholes yang lebih bertahan. Khusus Thierry Henry, jika ia jadi turun, ia akan menjadi momok tersendiri bagi pertahanan MU, seperti yang ia pernah lakukan saat memimpin Arsenal menaklukkan MU berkali-kali 3 tahun silam.
Formasi Harapan:
Barcelona (4-3-3) : Valdes, Sylvinho, Pique, Toure, Puyol, Iniesta, Keita, Xavi, Henry, Eto'o, Messi.
MU (4-3-3) : van der Sar, Evra, Vidic, Ferdinand, Neville, Scholes, Carrick, Ji-Sung, Ronaldo, Berbatov, Rooney.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment